Tragedi Sinila 1979 - Bencana Gas Beracun di Dieng Jawa Tengah
![]() |
| Korban Tragedi Gas Beracun di Dieng 1979 | |
Pos Pengamatan Gunung Api (PGA) Dieng mencatat bahwa Tragedi Sinila 1979 merupakan emisi gas beracun yang mengikuti erupsi freatik dari kawah di sebelah barat daya kompleks Gunung Dieng. Kejadian ini mengakibatkan 149 orang meninggal pada Selasa pagi, 20 Februari 1979.
Catatan itu juga menyebutkan bahwa gempa terasa pada pukul 01.55, 02.40 dan 04.00 WIB dan kemudian terjadi letusan dari Kawah Sinila pada pukul 05.04 WIB yang diikuti dengan keluarnya awan letusan berwarna abu-abu kehitaman. Kurang dari satu jam, terjadi letusan kedua yang diikuti aliran lahar panas dari Kawah Sinila hingga memotong jalan. Total volume lahar dari Kawah Sinila sekitar 15.000 meter kubik. Pada pukul 06.50 WIB, kawah baru Sigluduk sekitar 250 meter sebelah barat Kawah Sinila terdeteksi juga mulai mengeluarkan uap.
Penduduk Desa Kepucukan mencoba lari untuk menyelamatkan diri, beberapa diantaranya menuju ke arah barat (ke Batur) dan tewas akibat gas CO2 dan H2S yang keluar dari beberapa lubang kecil dan rekahan-rekahan di sebelah selatan dan barat kawah serta membanjiri area yang lebih rendah di tepi jalan. Yang lainnya tewas di dekat sekolah dasar setelah mencoba mundur melihat korban yang telah meninggal.
Riyanto, salah seorang warga yang mengalami tragedi itu, menuturkan, "Pada hari Senin, 19 Februari 1979, menjelang tengah malam, warga yang bermukim di sekitar Kawah Timbang dan Sinila sebenarnya sempat merasakan gempa. Kemudian disusul kira-kira pada pukul 03.30 (berbeda dari catatan PGA Dieng), Kawah Sinila meletus. Warga Desa berusaha menyelamatkan diri karena kawah mengeluarkan lahar,” kata Riyanto.
Ratusan warga berlarian ke arah barat atau ke Kawah Timbang. Nahas, warga tidak menyadari bahwa ada gas beracun yang keluar dari Kawah Timbang. Saat menyeberangi jalan desa, satu demi satu warga tiba-tiba berjatuhan dan tewas di lokasi. Mendengar ada korban berjatuhan, Riyanto dan sejumlah warga berusaha menolong dan mengevakuasi korban. Namun saat akan mengangkat korban, Riyanto dan warga lainnya tiba-tiba merasa seperti tercekik lehernya.
![]() |
| Korban Berjatuhan di Dieng 1979 | |
Tidak ada yang menyadari bahwa tempat itu telah mengandung gas beracun karena Gas tidak tercium dan wujudnya pun tidak terlihat. Riyanto dan beberapa warga yang tadinya hendak menolong korban kemudian berlari menjauh. Riyanto sendiri mengaku jatuh pingsan setelah berlari kira-kira 10 meter dari lokasi. Dia baru sadar ketika warga mencoba membangunkannya di penampungan. Cerita Riyanto ini dibenarkan oleh Tunut Pujiarjo, Kepala Pos Pengamatan Gunung Api Dieng. Tunut menuturkan bahwa warga saat menyelematkan diri ke arah barat tidak tahu jika di jalan ada aliran gas beracun dari Kawah Timbang.
Warga Dieng lain yang mengalami bencana itu adalah Torip. Dia menjadi tim penolong pertama yang tiba di lokasi korban tewas sekitar SD Inpres Kepucukan. Ia juga sempat pingsan menghirup gas CO2. Selain itu ada juga Suwardi, saat itu dia menjadi petugas Pengamat Gunung Api (PGA) Dieng. Beberapa jam sebelum terjadi erupsi, Suwardi sempat melakukan pengukuran suhu di Kawah Sikidang. Adapun Camat Batur saat peristiwa itu adalah Sukarso. Dialah yang melaporkan peristiwa bencana ke Pemkab Banjarnegara.
“Sekitar pukul 03.00 dini hari, kami terbangun karena ada gempa dan letusan. Kami keluar rumah dan melihat kondisi warga yang panik berlarian,” kata Torip yang saat itu berusia 32 tahun. Ia mengenang kerasnya guncangan gempa membuat nyala api minyak di rumahnya padam. Setelah salat taubat di mushola dekat rumah, Torip yang saat itu mengajar sebagai guru agama mengajak istri dan anaknya mengungsi ke Kecamatan Batur yang jaraknya sekitar dua kilometer.
“Di dalam kegelapan saat mengungsi itu, saya sempat didatangi sesosok pria yang menyuruh agar segera ke arah SD inpres.” kata Torip yang menganggap kehadiran sosok itu sebagai bisikan mistirius. Kemudian, Ia bersama empat warga lainnya bergerak menuju ke jalan raya di sekitar SDN Kepucukan. Sekitar pukul 05.00 ketika mereka sampai di jalan raya dekat SDN Kepucukan, mereka terkejut karena melihat banyak korban bergelimpangan di sepanjang jalan. “Banyak mayat bergelimpangan di sekitar SD Inpres. Saat itu belum tahu apa penyebab mereka meninggal,” kata Torip. Kelima orang inilah yang saat itu menjadi tim pertama yang datang ke lokasi penemuan mayat sebelum datang truk warga untuk melakukan evakuasi.
“Saya sempat menghirup gas beracun dan pingsan. Saya ditolong dan segera dinaikkan ke truk lalu dibawa pergi menjauh. Dalam perjalanan saya kemudian siuman,” kata Torip ditemui di rumahnya Dusun Simbar Desa Sumberejo, Kecamatan Batur, Banjarnegara yang berjarak sekitar 1,5 kilometer dari pusat semburan gas beracun Kawah Timbang. Ia menambahkan sebelum tragedi Sinila 1979, Kawah Timbang pernah dua kali meletus yakni pada 1928 dan 1939. Oleh karena itu, warga di sekitar dusun sebetulnya sudah mengetahui ada gas dari Kawah Timbang yang beracun.
Letusan Kawah Sinila 1979 menurut Suwardi, pensiunan petugas Pos Pengamat Gunung Api (PGA) Dieng merupakan bencana yang tak terprediksi. Pengamat saat itu memiliki keterbatasan kemampuan dan teknologi untuk memantau aktivitas vulkanik Gunung Dieng. Saat itu petugas hanya mengandalkan satu alat seismograf dan pengukuran suhu yang dilakukan menggunakan termometer.
“Kaget dan tak menyangka kalau Kawah Sinila meletus. Padahal siang harinya saya datang ke kawah untuk mengukur suhu,” kata Suwardi ditemui di rumahnya yang berjarak sekitar 20 meter dari Pos PGA Dieng di Desa Karangtengah, Kecamatan Batur, Banjarnegara.
Saat bencana, Suwardi dan Kepala Pos PGA saat itu, Suroso sedang berjaga di pos pengamatan. “Ketika terjadi gempa dan letusan saya belum tidur. Dari jendela pos pengamatan saya melihat asap mengepul. Saat itu belum tahu kawah mana yang meletus,” kata Suwardi.
Selasa,20 Februari 1979 sekitar pukul 04.00, rumah dinas Camat Batur Sukarso diketuk oleh seorang petugas Polisi Pamong Praja. Sukarso terkejut karena mendapat kabar ditemukan banyak orang meninggal di sekitar SD Inpres Kepucukan. Bersama seorang anggota Koramil Batur, Sukarso yang saat ini menjabat Sekretaris Palang Merah Indonesia (PMI) Kabupaten Banjarnegara mendatangi sekitar SD Inpres menggunakan mobil dinas kecamatan.
“Menjelang lokasi saya mencium bau belerang dan bibir terasa kaku. Saya spontan menggunakan syal untuk tutup hidung,” kata Sukarso. Dalam temaram lampu sorot mobil, Suroso melihat banyak mayat. Ia juga mendengar suara tangis lirih seorang anak. Merasa iba ia mencari suara tersebut dan mendapati bocah tergeletak diantara mayat-mayat. “Saya segera bawa anak itu ke puskesmas. Setelah itu saya kembali ke kecamatan dan meminta bantuan para pemilik truk untuk mengangkut mayat,” lanjut Sukarso yang menjabat camat Batur sejak sekitar April 1978.
Bagaimana kelanjutan nasib anak yang ditolongnya itu? Sukarso mengaku tak tahu banyak. Namun kata dia, diperkirakan si bocah malang itu ikut menjadi korban meninggal. Setiap kali mengenang ngerinya bencana itu, Sukarso mengaku merinding.
“Saya mencoba menelepon ke kabupaten mengabarkan kejadian itu, namun sambungan telepon beberapa kali gagal,” katanya. "Telepon saat itu harus diputar terlebih dahulu," tambahnya.
![]() |
| Tercatat 149 Orang Korban Meninggal | |
Evakuasi mayat korban berlangsung sekitar tiga hari. Mayat-mayat dikumpulkan di tiga lokasi, yakni Kawedanan Batur (saat ini rumah dinas camat), Koramil Batur dan Masjid Batur. Dari catatan Sukarso, ada 151 orang korban meninggal, sementara catatan pemerintah sebanyak 149 orang. Selisih dua korban meninggal kata Sukarso merupakan pasien di rumah sakit yang dirujuk dalam kondisi kritis.
“Jenazah korban rusak. Banyak pembuluh darah yang pecah sehingga keluar darah dari bebebrapa lubang. Mereka kemudian dimakamkan beserta bajunya,” kata Sukarso.
Sekitar 15.000 orang diungsikan dari enam desa di dekatnya dan pada dua zona bahaya. Sebanyak 350 kepala keluarga dari Desa Simbar dan 500 kepala keluarga dari Desa Kepucukan diberangkatkan transmigrasi ‘bedhol desa’ ke Baturaja di Sumatera Selatan