KH. Abdul Wahid Hasyim
![]() |
| KH. Abdul Wahid Hasyim | |
Kesan sebagai pribadi yang cerdas dan lihai tampak dalam setiap pidato KH A. Wahid Hasyim. Isi pidatonya selalu didukung dan dilengkapi dengan referensi tema-tema dari berbagai buku ilmiah bermutu. Kemampuan Beliau berbahasa Arab, Belanda dan Inggris menjadi kunci utama dalam penguasaan buku-buku ilmiah saat itu.
Sejak tahun 1939, KH. A Wahid Hasyim menjadi Ketua di perkumpulan organisasi MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia), federasi perkumpulan dari NU, Muhammadiyah,PSII, PII, Al-Irsyad, Persis. Dalam kaitan jabatannya di MIAI, KH A.Wahid Hasyim kemudian juga duduk dalam kepemimpinan Presidium Korindo (Kongres rakyat Indonesia), sebuah organisasi perjuangan yang bergerak bersama GAPI (Gabungan Partai Politik Indonesia).
KH A.Wahid Hasyim, sebagai Ketua MIAI, secara tidak langsung telah mengambil posisi sebagai pejuang melalui jalur politik untuk menghadapi penjajah. Sementara itu, MIAI memliki anggota yang merupakan tokoh-tokoh Indonesia ternama seperti KH Abdul Kahar Muzakkir, Abikusno Cokrosuyoso, Wondoamiseno, Dr.Sukiman, KH Mas Mansur, Muhammad Natsir, Umar Habaisy, dan lain-lain.
Namun demikian, pada zaman pendudukan Jepang (Oktober 1943), kelompok MIAI secara resmi dibubarkan. Kemudian, atas prakarsa KH A. Wahid Hasyim, MIAI diganti dengan organisasi baru, yaitu ”Majelis Syuro Muslimin Indonesia” atau biasa disingkat sebagai Masyumi. Organisasi ini disahkan oleh Gunseikan pada tanggal 22 November 1943. Melalui Masyumi inilah, Badan Pusat latihan Hizbullah terbentuk di Cibarusa, dekat Cibinong Bogor, dan Sekolah Tinggi Islam di Jakarta. Sebagai sarana komunikasi dan informasi kepada masyarakat, Masyumi menerbitkan majalah ”Suara Muslimin” yang pada mulanya dipimpin KH Saifuddin Zuhri sebelum beralih ke Harsono Cokroaminoto.
Di kalangan Umat Islam, KH A. Wahid Hasyim pada zaman kependudukan Jepang adalah salah satu tokoh sentral yang ternama. Beliau juga menjabat sebagai anggota Chuuo Sangi In, semacam DPR model Jepang. Dengan jabatan itulah, KH A. Wahid Hasyim mampu menyakinkan tentara Jepang agar mendirikan sebuah badan penghimpun kalangan ulama. Maka terbentuklah Badan Urusan Agama Islam yang bernama Shumubu dengan susunan pengurus terdiri dari: KH. Hasyim Asy’ari menjabat selaku Ketua, KH. Abdul Kahar Muzakir menjabat sebagai Wakil Ketua, dan KH A. Wahid Hasyim menjabat sebagai Wakil Ketua. Namun demikian, jabatan ketua pelaksana harian Shumubu dipegang oleh KH A. Wahid Hasyim karena kesibukan KH Hasyim Asy’ari selaku pemilik sekaligus pengurus Pesantren Tebuireng. Badan inilah yang kemudian menjelma menjadi Departemen Agama (setelah proklamasi 17 Agustus 1945).
Taktik politik yang dijalankan KH A Wahid Hasyim saat Jepang berkuasa adalah melibatkan diri ke dalam sebagian unsur kekuasaan Jepang yang dianggap dapat membuka jalan perjuangan untuk mencapai kemerdekaan Indonesia. ”Kerja sama” dengan Jepang dipandang perlu dalam rangka memperkuat Indonesia yang tidak memiliki kekuatan politik (kekuasaan) di zaman Belanda. Tanpa kekuatan politik itu tentu Indonesia tidak akan sanggup menghadapi kekuatan Militer Jepang yang tengah berada di puncak kemenangan.
Taktik politik yang dijalankan KH A Wahid Hasyim saat Jepang berkuasa adalah melibatkan diri ke dalam sebagian unsur kekuasaan Jepang yang dianggap dapat membuka jalan perjuangan untuk mencapai kemerdekaan Indonesia. ”Kerja sama” dengan Jepang dipandang perlu dalam rangka memperkuat Indonesia yang tidak memiliki kekuatan politik (kekuasaan) di zaman Belanda. Tanpa kekuatan politik itu tentu Indonesia tidak akan sanggup menghadapi kekuatan Militer Jepang yang tengah berada di puncak kemenangan.
KH A. Wahid Hasyim memupuk keyakinan masyarakat dalam menghadapi kezaliman Jepang dengan cara menyampaikan dakwah mengenai kezaliman yang tidak akan pernah mengalami kemenangan seperti yang telah ditunjukan dalam Al-Qur’an. Dengan tegas beliau selalu menyampaikan bahwa segala yang batil pasti akan sirna.KH A.Wahid Hasyim tetap menjalin hubungan erat dengan para ulama dan dunia pesantren walaupun pada masa perang kemerdekaan (1945-1950) sebagian besar waktunya dicurahkan kepada soal politik dan pertahanan. Pada masa itu, Beliau terlibat aktif dalam gejolak revolusi seperti, menghadapi agresi Belanda 1 dan 2 serta kemelut politik yang penuh pertentangan di antara masyarakat sendiri.
Abdul Wahid hasyim wafat pada usia yang relatif masih muda, belum mencapai 40 tahun. Hal ini tentu menyebabkan kalangan Ulama dan Pesantren yang merasa paling kehilangan. Kalangan politisi dan masyarakat juga sangat kehilangan sosok pemimpin yang agamis, cerdas, namun memiliki jiwa dengan semangat juang yang tidak pernah padam. A. Wahid Hasyim. sekalipun sudah wafat, namun semangat perjuangannya telah menginspirasi para pejuang muda saat itu dan namanya akan selalu harum dikenang hingga saat ini.
0 comments:
Post a Comment