Kemang Pratama, Bekasi-Indonesia nafbeloni@gmail.com

Memahami Sejarah untuk Masa Depan Lebih Baik

September 6, 2016

Mohammad Hatta

Dr. H. Mohammad Hatta
| Mohammad Hatta |
Dr. H. Mohammad Hatta yang akrab disapa dengan Bung Hatta adalah seorang pejuang kemerdekaan RI yang sering disandingkan dengan nama Soekarno. Bung Hatta yang lahir di Bukittinggi Sumatera, 12 Agustus 1902 dikenal sebagai salah seorang  proklamator dan wakil presiden pertama di Indonesia. Beliau juga dikenal sebagai negarawan yang cakap berdiplomasi dan juga sebagai pelopor koperasi.

Bung Hatta terpilih menjadi bendahara Jong Sumatranen Bond di wilayah Padang pada tahun 1916. Hal ini menjadi titik awal keterlibatan beliau dalam sejarah pergerakan kemerdekaan Indonesia. Pengetahuan politiknya terus berkembang pesat karena Hatta sering menghadiri berbagai ceramah dan pertemuan-pertemuan politik.

Pada tahun 1921, Hatta menetap di Rotterdam, Belanda dan bergabung dengan sebuah perkumpulan pelajar tanah air yang ada di Belanda, Indische Vereeniging. Mulanya, organisasi tersebut hanyalah merupakan organisasi perkumpulan bagi pelajar, namun segera berubah menjadi organisasi pergerakan kemerdekaan saat tiga tokoh Indische Partij (Suwardi Suryaningrat, Douwes Dekker, dan Tjipto Mangunkusumu) bergabung dengan Indische Vereeniging yang kemudian berubah nama menjadi Perhimpunan Indonesia (PI).

Di Perhimpunan Indonesia, Hatta mulai meniti karir di jenjang politiknya sebagai bendahara pada tahun 1922 dan menjadi ketua pada tahun 1925. Saat terpilih menjadi ketua PI, Hatta mengumandangkan pidato inagurasi yang berjudul "Struktur Ekonomi Dunia dan Pertentangan Kekuasaan".

Dalam pidatonya, ia mencoba menganalisa struktur ekonomi dunia yang ada pada saat itu berdasarkan landasan kebijakan non-kooperatif. Hatta berturut-turut terpilih menjadi ketua PI sampai tahun 1930 dengan perkembangan yang sangat signifikan dibuktikan dengan berkembangnya jalan pikiran politik rakyat Indonesia.

Sebagai ketua PI saat itu, Hatta memimpin delegasi Kongres Demokrasi Internasional untuk perdamaian di Berville, Perancis, pada tahun 1926. Ia mulai memperkenalkan nama Indonesia dan sejak saat itu nama Indonesia dikenal di kalangan organisasi-organisasi internasional. Pada tahun 1927, Hatta bergabung dengan Liga Menentang Imperialisme dan Kolonialisme di Belanda dan berkenalan dengan aktivis nasionalis India, Jawaharhal Nehru.

Aktivitas politik Hatta pada organisasi ini menyebabkan dirinya ditangkap tentara Belanda bersama dengan Nazir St. Pamontjak, Ali Sastroamidjojo, dan Abdul madjid Djojodiningrat sebelum akhirnya dibebaskan setelah ia berpidato dengan pidato pembelaan berjudul: Indonesia Free. 

Selanjutnya pada tahun 1932, Hatta kembali ke Indonesia dan bergabung dengan organisasi Club Pendidikan Nasional Indonesia yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran politik rakyat Indonesia dengan adanya pelatihan-pelatihan.

Pada tahun 1933, Soekarno diasingkan ke Ende, Flores. Aksi ini menuai reaksi keras oleh Hatta. Ia mulai menulis mengenai pengasingan Soekarno pada berbagai media. Akibat aksi Hatta inilah pemerintah kolonial Belanda mulai memusatkan perhatian pada Partai Pendidikan Nasional Indonesia dan menangkap pimpinan para pimpinan partai yang selanjutnya diasingkan ke Digul, Papua.

Pada masa pengasingan di Digul, Hatta aktif menulis di berbagai surat kabar. Ia juga rajin membaca buku yang ia bawa dari Jakarta untuk kemudian diajarkan kepada teman-temannya. Selanjutnya, pada tahun 1935 saat pemerintahan kolonial Belanda berganti, Hatta dan Sjahrir dipindahlokasikan ke Bandaneira. Di sanalah, Hatta dan Sjahrir mulai memberi pelajaran kepada anak-anak setempat dalam bidang sejarah, politik, dan lainnya.

Setelah delapan tahun diasingkan, Hatta dan Sjahrir dibawa kembali ke Sukabumi pada tahun 1942. Selang satu bulan, pemerintah kolonial Belanda menyerah pada Jepang. Pada saat itulah Hatta dan Sjahrir dibawa ke Jakarta.

Pada awal Agustus 1945, nama Anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan berganti nama menjadi Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia dengan Soekarno sebagai Ketua dan Hatta sebagai Wakil Ketua.

Sehari sebelum hari kemerdekaan dikumandangkan, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia mengadakan rapat di rumah Admiral Maeda. Panitia yang hanya terdiri dari Soekarno, Hatta, Soebardjo, Soekarni, dan Sayuti tersebut merumuskan teks proklamasi yang akan dibacakan keesokan harinya dengan tanda tangan Soekarno dan Hatta atas usul Soekarni.

Pada tanggal 17 Agustus 1945 di jalan Pagesangan Timur 56 tepatnya pukul 10.00 kemerdekaan Indonesia diproklamasikan oleh Soekarno dan Hatta atas nama bangsa Indonesia. Keesokan harinya, pada tanggal 18 Agustus 1945 Soekarno diangkat sebagai Presiden Republik Indonesia dan Hatta sebagai Wakil Presiden.

Berita kemerdekaan Republik Indonesia telah tersohor sampai Belanda. Sehingga, Belanda berkeinginan kembali untuk menjajah Indonesia. Dalam upaya mempertahankan kemerdekaan Indonesia, pemerintahan Republik Indonesia dipindah ke Jogjakarta. Ada dua kali perundingan dengan Belanda yang menghasilkan perjanjian linggarjati dan perjanjian Reville. Namun, kedua perjanjian tersebut berakhir kegagalan karena kecurangan Belanda.

Pada Juli 1947, Hatta mencari bantuan ke India dengan menemui Jawaharhal Nehru dan Mahatma Gandhi. Nehru berjanji, India dapat membantu Indonesia dengan melakukan protes terhadap tindakan Belanda dan agar dihukum pada PBB. Banyaknya kesulitan yang dialami oleh rakkyat Indonesia memunculkan aksi pemberontakan oleh PKI sedangkan Soekarno dan Hatta ditawan ke Bangka. Selanjutnya kepemimpinan perjuangan dipimpin oleh Jenderal Soedirman.

Perjuangan rakyat Indonesia tidak sia-sia. Pada tanggal 27 desembar 1949, Ratu Juliana memberikan pengakuan atas kedaulatan Indonesia kepada Hatta.

Setelah kemerdekaan mutlak Republik Indonesia, Hatta tetap aktif memberikan ceramah-ceramah di berbagai lembaga pendidikan. Dia juga masih aktif menulis berbagai macam karangan dan membimbing gerakan koperasi sesuai apa yang dicita-citakannya. Tanggal 12 Juli 1951, Hatta mengucapkan pidato di radio mengenai hari jadi Koperasi dan selang hari lima hari kemudian dia diangkat menjadi Bapak Koperasi Indonesia.

Hatta menikah dengan Rachim Rahmi pada tanggal 18 November 1945 di desa Megamendung, Bogor, Jawa Barat. Pasangan tersebut dikaruniai tiga orang putri yakni Meutia, Gemala, dan Halida.

Pada tanggal 14 Maret 1980 Hatta wafat di RSUD dr. Cipto Mangunkusumo. Karena perjuangannya bagi Republik Indonesia sangat besar, Hatta mendapatkan anugerah tanda kehormatan tertinggi "Bintang Republik Indonesia Kelas I" yang diberikan oleh Presiden Soeharto.

PENDIDIKAN
  • Nederland Handelshogeschool, Rotterdam, Belanda (1932)
  • Sekolah Tinggi Dagang Prins Hendrik School, Batavia (1921)
  • Meer Uirgebreid Lagere School (MULO), Padang (1919)
  • Europeesche Lagere School (ELS), Padang, 1916
  • Sekolah Dasar Melayu Fort de kock, Minangkabau (1913-1916)
  • KARIR
  • Ketua Panitia Lima (1975)
  • Penasihat Presiden dan Penasehat Komisi IV (1969)
  • Dosen Universitas Gadjah Mada, Jogjakarta (1954-1959)
  • Dosen Sesko Angkatan darat, Bandung (1951-1961)
  • Wakil Presiden, Perdana menteri, dan Menteri Luar Negeri NKRIS (1949-1950)
  • Ketua delegasi Indonesia Konferensi Meja Bundar, Den Haag (1949)
  • Wakil Presiden, Perdana Menteri, dan Menteri Pertahanan (1948-1949)
  • Wakil Presiden RI pertama (1945)
  • Proklamator Kemerdekaan Republik Indonesia (1945)
  • Wakil Ketua Panitia Persiapan kemerdekaan Indonesia (1945)
  • Anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (1945)
  • Kepala Kantor Penasehat Bala Tentara Jepang (1942)
  • Ketua Panitia Pendidikan Nasional Indonesia (1934-1935)
  • Wakil Delegasi Indonesia Liga Melawan Imperialisme dan Penjajahan, Berlin (1927-1931)
  • Ketua Perhimpunan Indonesia, Belanda (1925-1930)
  • Bendahara Jong Sumatranen Bond, Jakarta (1920-1921)
  • Bendahara Jong Sumatranen Bond, Padang (1916-1919)
  • Partai Nasional Indonesia

ORGANISASI
  • Club pendidikan Nasional Indonesia
  • Liga menentang Imperialisme
  • Perhimpunan Hindia
  • Jong Sumatranen Bond

PENGHARGAAN
  • Pahlawan Nasional
  • Bapak koperasi Indonesia
  • Doctor Honoris Causa, Universitas Gadjah Mada, 1965
  • Proklamator Indonesia
  • The Founding Father's of Indonesia 

August 22, 2016

Soekarno: Dari Kelahiran Hingga Lulus Technische Hoogeschool (THS)

| Soekarno Muda |
Soekarno dilahirkan pada 6 Juni 1901 di Surabaya dengan nama Koesno Sosrodihardjo. Dia kemudian berganti nama menjadi Soekarno karena sering sakit-sakitan yang penyebabnya, menurut para orang tua zaman dulu, nama Koesno Sosrodihardjo terlalu berat atau tidak sesuai. Ayah Beliau bernama Raden Soekemi Sosrodihardjo dan ibunya bernama Ida Ayu Nyoman Rai, seorang yang berdarah Bangsawan di Bali. Ayah dan Ibu Soekarno berjodoh dibali, mereka bertemu saat ayahnya menjadi guru di Sekolah Dasar Pribumi Singaraja Bali. Dari pasangan itu, Soekarno adalah adik kandung Sukarmini.

Soekarno kecil tidak tinggal dengan kedua orang tuanya yang berada di Blitar. Ia tinggal di Tulung Agung, Jawa Timur, di kediaman kakeknya yang bernama Raden Hardjokromo. Walaupun sempat bersekolah sebentar di Tulung Agung, Soekarno kemudian ikut bersama dengan orang tuanya yang pindah ke Mojokerto, Jawa Timur.

Di Mojokerto, Ayahanda Soekarno bekerja sebagai guru di sekolah Eerste Inlandse School sehingga Soekarno awalnya bersekolah di situ. Pada tahun 1911, Soekarno pindah ke ELS (Europeesche Lagere School) yaitu sekolah dasar yang lebih khusus untuk persiapan masuk ke HBS (Hogere Burger School) di Surabaya. Pendidikan Soekarno di ELS selesai pada tahun 1915 dan kemudian melanjutkan ke HBS. Di Surabaya ini, Soekarno tinggal di rumah teman ayahnya yaitu Haji Oemar Said Tjokroaminoto atau H.O.S Cokroaminoto, pendiri Organisasi Sarekat Islam (SI)

Soekarno, Kartosuwiryo, dan Muso

Di rumah Cokroaminoto inilah, Soekarno berkenalan dengan para pemuka Sarekat Islam (SI) seperti Haji Agus Salim dan Abdul Muis. Selain itu, kepandaian Soekarno dalam bergaul juga membuatnya akrab dengan 'murid-murid' H.O.S. Cokroaminoto yang lain, yaitu Muso yang kelak dikenal sebagai tokoh berhaluan kiri (komunis) dan Kartosuwiryo yang kelak dikenal sebagai tokoh pendiri Darul Islam.

Soekarno, Kartosuwiryo, dan Muso tinggal bersama di rumah H.O.S Cokroaminoto. Mereka semua belajar berorganisasi melalui Sarekat Islam (SI) dan menimba ilmu yang tidak diajarkan di sekolah. Jiwa nasionalisme Soekarno mulai tumbuh di lingkungan ini. Soekarno aktif dalam oeganisasi Trikoro Darmo pada tahun 1918. Trikoro Darmo adalah organisasi pemuda  yang menjadi cikal bakal Jong Java. Soekarno juga aktif menjadi penulis di koran "Oetoesan Hindia" yang dikelola oleh Cokroaminoto.

Bakat Soekarno sebagai orator ulung mulai nampak di rumah Cokroaminoto ini. Soekarno muda sering melakukan pidato sendiri di depan cermin di kamarnya. Kecerdasan yang dimiliki Soekarno mampu dengan mudah menyerap pengetahuan politik dan organisasi yang dia pelajari sendiri dari aktifitasnya dalam organisasi dan pergaulannya dengan tokoh-tokoh saat itu.

Melanjutkan Pendidikan ke Technische Hoogeschool (THS) di Bandung

Soekarno lulus dari Hoogere Burger School atau HBS pada tahun 1921. Kemudian, beliau pindah ke Bandung dan tinggal dirumah Haji Sanusi. Di rumah inilah, Soekarno menjadi akrab dengan beberapa tokoh seperti Douwes Dekker, Tjiptomangunkusumo, dan Ki Hajar Dewantara.

Soekarno melanjutkan pendidikan ke jurusan teknik sipil di Technische Hoogeschool (THS). Perguruan ini kelak berubah menjadi ITB (Institut Teknologi Bandung) seperti sekarang. Soekarno menikah dengan Siti Oetari anak sulung dari H.O.S Cokroaminoto di tahun yang sama (1921), Karena itulah, Soekarno sempat berhenti kuliah setelah dua bulan masuk di THS. Pada tahun 1922, ia kembali mendaftar dan mulai kuliah. Pada tanggal 25 Mei 1926, Soekarno lulus dengan gelar Ir (Insinyur).

Soekarno mendirikan Biro Insinyur tahun 1926 setelah lulus dari THS bersama Ir. Anwari yang mengerjakan desain dan rancang bangunan. Selain dengan Anwari, Ia juga bermitra dengan Ir. Rooseno untuk merancang dan membangun rumah.

Cikal bakal Partai Nasional Indonesia yang berdiri pada tanggal 4 Juli 1927 adalah Algemeene Studie Club (ASC) yang didirikan Soekarno selama di Bandung. Tujuan dari pembentukan partai Nasional Indonesia adalah kemerdekaan Indonesia dan lepas dari kekuasaan Belanda. Disini Soekarno kemudian mulai mengenalkan konsep Marhaenisme yang merupakan hasil pemikirannnya sendiri.

July 10, 2016

Tragedi Sinila 1979 - Bencana Gas Beracun di Dieng Jawa Tengah

Kawah Sinila 1979
| Korban Tragedi Gas Beracun di Dieng 1979 |
Pos Pengamatan Gunung Api (PGA) Dieng mencatat bahwa Tragedi Sinila 1979 merupakan emisi gas beracun yang mengikuti erupsi freatik dari kawah di sebelah barat daya kompleks Gunung Dieng. Kejadian ini mengakibatkan 149 orang meninggal pada Selasa pagi, 20 Februari 1979.

Catatan itu juga menyebutkan bahwa gempa terasa pada pukul 01.55, 02.40 dan 04.00 WIB dan kemudian terjadi letusan dari Kawah Sinila pada pukul 05.04 WIB yang diikuti dengan keluarnya awan letusan berwarna abu-abu kehitaman. Kurang dari satu jam, terjadi letusan kedua yang diikuti aliran lahar panas dari Kawah Sinila hingga memotong jalan. Total volume lahar dari Kawah Sinila sekitar 15.000 meter kubik. Pada pukul 06.50 WIB, kawah baru Sigluduk sekitar 250 meter sebelah barat Kawah Sinila terdeteksi juga mulai mengeluarkan uap.

Penduduk Desa Kepucukan mencoba lari untuk menyelamatkan diri, beberapa diantaranya menuju ke arah barat (ke Batur) dan tewas akibat gas CO2 dan H2S yang keluar dari beberapa lubang kecil dan rekahan-rekahan di sebelah selatan dan barat kawah serta membanjiri area yang lebih rendah di tepi jalan. Yang lainnya tewas di dekat sekolah dasar setelah mencoba mundur melihat korban yang telah meninggal.

Riyanto, salah seorang warga yang mengalami tragedi itu, menuturkan, "Pada hari Senin, 19 Februari 1979, menjelang tengah malam, warga yang bermukim di sekitar Kawah Timbang dan Sinila sebenarnya sempat merasakan gempa. Kemudian disusul kira-kira pada pukul 03.30 (berbeda dari catatan PGA Dieng), Kawah Sinila meletus. Warga Desa berusaha menyelamatkan diri karena kawah mengeluarkan lahar,” kata Riyanto.

Ratusan warga berlarian ke arah barat atau ke Kawah Timbang. Nahas, warga tidak menyadari bahwa ada gas beracun yang keluar dari Kawah Timbang. Saat menyeberangi jalan desa, satu demi satu warga tiba-tiba berjatuhan dan tewas di lokasi. Mendengar ada korban berjatuhan, Riyanto dan sejumlah warga berusaha menolong dan mengevakuasi korban. Namun saat akan mengangkat korban, Riyanto dan warga lainnya tiba-tiba merasa seperti tercekik lehernya.

Tragedi Sinila 1979
| Korban Berjatuhan di Dieng 1979 |
Tidak ada yang menyadari bahwa tempat itu telah mengandung gas beracun karena Gas tidak tercium dan wujudnya pun tidak terlihat. Riyanto dan beberapa warga yang tadinya hendak menolong korban kemudian berlari menjauh. Riyanto sendiri mengaku jatuh pingsan setelah berlari kira-kira 10 meter dari lokasi. Dia baru sadar ketika warga mencoba membangunkannya di penampungan. Cerita Riyanto ini dibenarkan oleh Tunut Pujiarjo, Kepala Pos Pengamatan Gunung Api Dieng. Tunut menuturkan bahwa warga saat menyelematkan diri ke arah barat tidak tahu jika di jalan ada aliran gas beracun dari Kawah Timbang.

Warga Dieng lain yang mengalami bencana itu adalah Torip. Dia menjadi tim penolong pertama yang tiba di lokasi korban tewas sekitar SD Inpres Kepucukan. Ia juga sempat pingsan menghirup gas CO2. Selain itu ada juga Suwardi, saat itu dia menjadi petugas Pengamat Gunung Api (PGA) Dieng. Beberapa jam sebelum terjadi erupsi, Suwardi sempat melakukan pengukuran suhu di Kawah Sikidang. Adapun Camat Batur saat peristiwa itu adalah Sukarso. Dialah yang melaporkan peristiwa bencana ke Pemkab Banjarnegara.

“Sekitar pukul 03.00 dini hari, kami terbangun karena ada gempa dan letusan. Kami keluar rumah dan melihat kondisi warga yang panik berlarian,” kata Torip yang saat itu berusia 32 tahun. Ia mengenang kerasnya guncangan gempa membuat nyala api minyak di rumahnya padam. Setelah salat taubat di mushola dekat rumah, Torip yang saat itu mengajar sebagai guru agama mengajak istri dan anaknya mengungsi ke Kecamatan Batur yang jaraknya sekitar dua kilometer.

“Di dalam kegelapan saat mengungsi itu, saya sempat didatangi sesosok pria yang menyuruh agar segera ke arah SD inpres.” kata Torip yang menganggap kehadiran sosok itu sebagai bisikan mistirius. Kemudian, Ia bersama empat warga lainnya bergerak menuju ke jalan raya di sekitar SDN Kepucukan. Sekitar pukul 05.00 ketika mereka sampai di jalan raya dekat SDN Kepucukan, mereka terkejut karena melihat banyak korban bergelimpangan di sepanjang jalan. “Banyak mayat bergelimpangan di sekitar SD Inpres. Saat itu belum tahu apa penyebab mereka meninggal,” kata Torip. Kelima orang inilah yang saat itu menjadi tim pertama yang datang ke lokasi penemuan mayat sebelum datang truk warga untuk melakukan evakuasi.

“Saya sempat menghirup gas beracun dan pingsan. Saya ditolong dan segera dinaikkan ke truk lalu dibawa pergi menjauh. Dalam perjalanan saya kemudian siuman,” kata Torip ditemui di rumahnya Dusun Simbar Desa Sumberejo, Kecamatan Batur, Banjarnegara yang berjarak sekitar 1,5 kilometer dari pusat semburan gas beracun Kawah Timbang. Ia menambahkan sebelum tragedi Sinila 1979, Kawah Timbang pernah dua kali meletus yakni pada 1928 dan 1939. Oleh karena itu, warga di sekitar dusun sebetulnya sudah mengetahui ada gas dari Kawah Timbang yang beracun.

Letusan Kawah Sinila 1979 menurut Suwardi, pensiunan petugas Pos Pengamat Gunung Api (PGA) Dieng merupakan bencana yang tak terprediksi. Pengamat saat itu memiliki keterbatasan kemampuan dan teknologi untuk memantau aktivitas vulkanik Gunung Dieng. Saat itu petugas hanya mengandalkan satu alat seismograf dan pengukuran suhu yang dilakukan menggunakan termometer.

“Kaget dan tak menyangka kalau Kawah Sinila meletus. Padahal siang harinya saya datang ke kawah untuk mengukur suhu,” kata Suwardi ditemui di rumahnya yang berjarak sekitar 20 meter dari Pos PGA Dieng di Desa Karangtengah, Kecamatan Batur, Banjarnegara.

Saat bencana, Suwardi dan Kepala Pos PGA saat itu, Suroso sedang berjaga di pos pengamatan. “Ketika terjadi gempa dan letusan saya belum tidur. Dari jendela pos pengamatan saya melihat asap mengepul. Saat itu belum tahu kawah mana yang meletus,” kata Suwardi.

Selasa,20 Februari 1979 sekitar pukul 04.00, rumah dinas Camat Batur Sukarso diketuk oleh seorang petugas Polisi Pamong Praja. Sukarso terkejut karena mendapat kabar ditemukan banyak orang meninggal di sekitar SD Inpres Kepucukan. Bersama seorang anggota Koramil Batur, Sukarso yang saat ini menjabat Sekretaris Palang Merah Indonesia (PMI) Kabupaten Banjarnegara mendatangi sekitar SD Inpres menggunakan mobil dinas kecamatan.

“Menjelang lokasi saya mencium bau belerang dan bibir terasa kaku. Saya spontan menggunakan syal untuk tutup hidung,” kata Sukarso. Dalam temaram lampu sorot mobil, Suroso melihat banyak mayat. Ia juga mendengar suara tangis lirih seorang anak. Merasa iba ia mencari suara tersebut dan mendapati bocah tergeletak diantara mayat-mayat. “Saya segera bawa anak itu ke puskesmas. Setelah itu saya kembali ke kecamatan dan meminta bantuan para pemilik truk untuk mengangkut mayat,” lanjut Sukarso yang menjabat camat Batur sejak sekitar April 1978.

Bagaimana kelanjutan nasib anak yang ditolongnya itu? Sukarso mengaku tak tahu banyak. Namun kata dia, diperkirakan si bocah malang itu ikut menjadi korban meninggal. Setiap kali mengenang ngerinya bencana itu, Sukarso mengaku merinding.

“Saya mencoba menelepon ke kabupaten mengabarkan kejadian itu, namun sambungan telepon beberapa kali gagal,” katanya. "Telepon saat itu harus diputar terlebih dahulu," tambahnya.

Tragedi Sinila 1979
| Tercatat 149 Orang Korban Meninggal |
Evakuasi mayat korban berlangsung sekitar tiga hari. Mayat-mayat dikumpulkan di tiga lokasi, yakni Kawedanan Batur (saat ini rumah dinas camat), Koramil Batur dan Masjid Batur. Dari catatan Sukarso, ada 151 orang korban meninggal, sementara catatan pemerintah sebanyak 149 orang. Selisih dua korban meninggal kata Sukarso merupakan pasien di rumah sakit yang dirujuk dalam kondisi kritis.

“Jenazah korban rusak. Banyak pembuluh darah yang pecah sehingga keluar darah dari bebebrapa lubang. Mereka kemudian dimakamkan beserta bajunya,” kata Sukarso.

Sekitar 15.000 orang diungsikan dari enam desa di dekatnya dan pada dua zona bahaya. Sebanyak 350 kepala keluarga dari Desa Simbar dan 500 kepala keluarga dari Desa Kepucukan diberangkatkan transmigrasi ‘bedhol desa’ ke Baturaja di Sumatera Selatan

January 5, 2016

KH. Abdul Wahid Hasyim

| KH. Abdul Wahid Hasyim |
KH. Abdul Wahid Hasyim, putra dari pasangan KH. M. Hasyim Asy’ari dan Nyai Nafiqah binti Kiai Ilyas, lahir hari Jum’at legi, 5 Rabi’ul Awal 1333 H./1 Juni 1914 M, ayahnya semula memberi nama Muhammad Asy’ari, berasal dari nama kakeknya. Namun kemudian, nama itu diganti menjadi Abdul Wahid yang mengambil nama datuknya. Dia anak ke-5 dan anak laki-laki pertama dari 10 bersaudara.

Kesan sebagai pribadi yang cerdas dan lihai tampak dalam setiap pidato KH A. Wahid Hasyim. Isi pidatonya selalu didukung dan dilengkapi dengan referensi tema-tema dari berbagai buku ilmiah bermutu. Kemampuan Beliau berbahasa Arab, Belanda dan Inggris menjadi kunci utama dalam penguasaan buku-buku ilmiah saat itu. 

Sejak tahun 1939,  KH. A Wahid Hasyim menjadi Ketua di perkumpulan organisasi MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia), federasi perkumpulan dari NU, Muhammadiyah,PSII, PII, Al-Irsyad, Persis. Dalam kaitan jabatannya di MIAI, KH A.Wahid Hasyim kemudian juga duduk dalam kepemimpinan Presidium Korindo (Kongres rakyat Indonesia), sebuah organisasi perjuangan yang bergerak bersama GAPI (Gabungan Partai Politik Indonesia).

KH A.Wahid Hasyim, sebagai Ketua MIAI, secara tidak langsung telah mengambil posisi sebagai pejuang melalui jalur politik untuk menghadapi penjajah. Sementara itu, MIAI memliki anggota yang merupakan tokoh-tokoh Indonesia ternama seperti KH Abdul Kahar Muzakkir, Abikusno Cokrosuyoso, Wondoamiseno, Dr.Sukiman, KH Mas Mansur, Muhammad Natsir, Umar Habaisy, dan lain-lain. 

Namun demikian, pada zaman pendudukan Jepang (Oktober 1943), kelompok MIAI secara resmi dibubarkan. Kemudian, atas prakarsa KH A. Wahid Hasyim, MIAI diganti dengan organisasi baru, yaitu ”Majelis Syuro Muslimin Indonesia” atau biasa disingkat sebagai Masyumi. Organisasi ini disahkan oleh Gunseikan pada tanggal 22 November 1943. Melalui Masyumi inilah, Badan Pusat latihan Hizbullah terbentuk di Cibarusa, dekat Cibinong Bogor, dan Sekolah Tinggi Islam di Jakarta. Sebagai sarana komunikasi dan informasi kepada masyarakat, Masyumi menerbitkan majalah ”Suara Muslimin” yang pada mulanya dipimpin KH Saifuddin Zuhri sebelum beralih ke Harsono Cokroaminoto.

Di kalangan Umat Islam, KH A. Wahid Hasyim pada zaman kependudukan Jepang adalah salah satu tokoh sentral yang ternama. Beliau juga menjabat sebagai anggota Chuuo Sangi In, semacam DPR model Jepang. Dengan jabatan itulah, KH A. Wahid Hasyim mampu menyakinkan tentara Jepang agar mendirikan sebuah badan penghimpun kalangan ulama. Maka terbentuklah Badan Urusan Agama Islam yang bernama Shumubu dengan susunan pengurus terdiri dari: KH. Hasyim Asy’ari menjabat selaku Ketua, KH. Abdul Kahar Muzakir menjabat sebagai Wakil Ketua, dan KH A. Wahid Hasyim menjabat sebagai Wakil Ketua. Namun demikian, jabatan ketua pelaksana harian Shumubu dipegang oleh KH A. Wahid Hasyim karena kesibukan KH Hasyim Asy’ari selaku pemilik sekaligus pengurus Pesantren Tebuireng. Badan inilah yang kemudian menjelma menjadi Departemen Agama (setelah proklamasi 17 Agustus 1945).

Taktik politik yang dijalankan KH A Wahid Hasyim saat Jepang berkuasa adalah melibatkan diri ke dalam sebagian unsur kekuasaan Jepang yang dianggap dapat membuka jalan perjuangan untuk mencapai kemerdekaan Indonesia. ”Kerja sama” dengan Jepang dipandang perlu dalam rangka memperkuat Indonesia yang tidak memiliki kekuatan politik (kekuasaan) di zaman Belanda. Tanpa kekuatan politik itu tentu Indonesia tidak akan sanggup menghadapi kekuatan Militer Jepang yang tengah berada di puncak kemenangan.

KH A. Wahid Hasyim memupuk keyakinan masyarakat dalam menghadapi kezaliman Jepang dengan cara menyampaikan dakwah mengenai kezaliman yang tidak akan pernah mengalami kemenangan seperti yang telah ditunjukan dalam Al-Qur’an. Dengan tegas beliau selalu menyampaikan bahwa segala yang batil pasti akan sirna.
KH A.Wahid Hasyim tetap menjalin hubungan erat dengan para ulama dan dunia pesantren walaupun pada masa perang kemerdekaan (1945-1950) sebagian besar waktunya dicurahkan kepada soal politik dan pertahanan. Pada masa itu, Beliau terlibat aktif dalam gejolak revolusi seperti, menghadapi agresi Belanda 1 dan 2 serta kemelut politik yang penuh pertentangan di antara masyarakat sendiri.

Abdul Wahid hasyim wafat pada usia yang relatif masih muda, belum mencapai 40 tahun. Hal ini tentu menyebabkan kalangan Ulama dan Pesantren yang merasa paling kehilangan. Kalangan politisi dan masyarakat juga sangat kehilangan sosok pemimpin yang agamis, cerdas, namun memiliki jiwa dengan semangat juang yang tidak pernah padam. A. Wahid Hasyim. sekalipun sudah wafat, namun semangat perjuangannya telah menginspirasi para pejuang muda saat itu dan namanya akan selalu harum dikenang hingga saat ini.

Contributors

Terbanyak Dibaca

Tragedi Sinila 1979 - Bencana Gas Beracun di Dieng Jawa Tengah

| Korban Tragedi Gas Beracun di Dieng 1979 | Pos Pengamatan Gunung Api (PGA) Dieng mencatat bahwa Tragedi Sinila 1979 merupakan emisi g...

Populer